Cerita dari Rumah Reot
Rumah mau roboh itu dihuni satu keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, dan tiga anak yang sulungnya adalah laki-laki. Rumah reot berdinding
pilinan bambu itu merupakan tempat berteduh bagi keluarga itu. Ya, walaupun
bila hujan mereka masih terkena air, karena genteng-genteng yang sudah patah.
Ruangan yang sempit, hanya ada dua kamar untuk lima orang penghuninya. Lantai
mereka dari tanah. Tampak gelap dan rusuh.
Keluarga itu setiap hari saling membantu untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka, bapak, ibu yang sambil mengurus anaknya bekerja dengan
memulung sampah yang nantinya akan mereka jual kepada pengepul. Sayang, hasil
yang mereka dapat seharian dengan berpanasan, berjalan jauh mencari barang yang
sekiranya bagus untuk dijual tidak sebanding dengan kerja keras mereka. Anak
sulung tidak mau ketinggalan membantu bapak ibunya, dia ikut bekerja mencari
uang, kadang dia juga memulung seperti orang tuanya, kadang menjadi kuli angkut
di pasar. Seharusnya dia masih sekolah di tingkat SLTP, tapi apa daya uang yang
menjadi masalahnya sehingga dia tidak dapat melanjutkan sekolahnya dan harus
membantu orangtuanya setiap hari disaat anak yang lain seumurannya belajar,
bermain menikmati masa remajanya.
Saat malam di rumah itu, saat makan malam mereka berkumpul
untuk makan malam bersama. Ibu sudah selesai dengan masakannya, lalu membanya
ke suami dan anak-anaknya. Dengan wajah lesu ibu menaruh makanan itu. Nasi yang
dicampur nasi aking dengan lauk ikan asin yang menjadi menu malam itu. Ibu
mengambilkan makanan untuk Anak-anaknya yang masih kecil dengan wajah ceria
mereka makan karena sejak dari tadi perut mereka lapar. Sulung, suami dan ibu juga ikut makan. Seperti itulah makanan yang
setiap hari disantap di rumah itu. Nasi putih yang dicampur nasi aking dengan
lauk yang harganya murah, yang dapat mereka jangkau untuk menyambung nyawa.
Akan tetapi, kabersamaan diantara mereka tidak pernah lepas. Kesulitan hidup
yang, mereka jalani tidak membuat mereka jauh.
Setelah
makan malam, sulung berbincang dengan ibunya di depan rumah mereka. Sedang dua
anaknya bermain diawasi bapaknya.
“Ibu, apa yang membuat
ibu kuat menjalani kehidupan ini?”
“Yang membuat ibu kuat
menjalani hidup ini adalah anak-anak ibu. Bila ibu menyerah, bagaimana dengan
nasib anak-anak ibu. Ibu ingin menjadi contoh untuk kalian agar menjadi manusia
yang kuat, tidak gampang menyerah dengan hidup ini. hidup ini harus
ditaklukkan. Nak, apa kau lelah dengan ini?” tanya ibu pada sulung.
“Lelah, tentu bu, tapi
melihat bapak dan ibu yang terus semangat dan tegar membuatku berusaha tegar
juga dengan keadaan ini semua, aku akan terus membantu bapak dan ibu mencari
uang.”
“Bagus itu nak, ibu
bangga padamu”.
“Ibu, mungkinkah nasib
kita berubah?”
“Ibu tidak tahu, hanya
berusaha dan berdoa, mungki saja nasib kita berubah. Orang bilang, tidak ada
yang tidak mungkin di dunia ini. Kamu jangan pernah berhenti berharap pada-Nya
ya nak, untuk kehidupan kita yang lebih baik, ibupun selalu berdoa dan berharap
pada-Nya, terutama untuk anak-anak ibu”.
“Iya bu. Dengan senyum
sulung menjawab nasihat dari ibunya.
Pembicaraan malam itu
berakhir. Mereka ke tempat tidur mareka yang sempit dan berjubel,
mengistirahatkan badan mereka yang telah seharian bekerja.
Sebelum tidur, sulung berdoa” Ya Allah, terima kasih atas
apa yang telah kau berikan selama ini, rumah tempatku dan keluargaku berteduh,
makanan yang setiap hari ku makan, keluarga yang ku cintai. Hamba tahu engakau
mengatahui kesusahan hamba dan keluarga hamba selama ini. Bila hamba boleh
meminta pada-Mu, Tolong beikanlah pada kami rezeki yang lebih agar kehidupan
kami lebih baik, agar kami dapat memiliki rumah yang layak, dapat makan seperti
keluarga lain makan, aamiin.
Sulung telah selesai
dengan doanya, lalu dia tidur dengan penuh harap semoga doanya dapat menjadi
nyata suatu hari nanti.
THE END
Amalia Pratiwi