Minggu, 30 Maret 2014

Cerpen



Cerita dari Rumah Reot

          Rumah mau roboh itu dihuni satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan tiga anak yang sulungnya adalah laki-laki. Rumah reot berdinding pilinan bambu itu merupakan tempat berteduh bagi keluarga itu. Ya, walaupun bila hujan mereka masih terkena air, karena genteng-genteng yang sudah patah. Ruangan yang sempit, hanya ada dua kamar untuk lima orang penghuninya. Lantai mereka dari tanah. Tampak gelap dan rusuh.
          Keluarga itu setiap hari saling membantu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, bapak, ibu yang sambil mengurus anaknya bekerja dengan memulung sampah yang nantinya akan mereka jual kepada pengepul. Sayang, hasil yang mereka dapat seharian dengan berpanasan, berjalan jauh mencari barang yang sekiranya bagus untuk dijual tidak sebanding dengan kerja keras mereka. Anak sulung tidak mau ketinggalan membantu bapak ibunya, dia ikut bekerja mencari uang, kadang dia juga memulung seperti orang tuanya, kadang menjadi kuli angkut di pasar. Seharusnya dia masih sekolah di tingkat SLTP, tapi apa daya uang yang menjadi masalahnya sehingga dia tidak dapat melanjutkan sekolahnya dan harus membantu orangtuanya setiap hari disaat anak yang lain seumurannya belajar, bermain menikmati masa remajanya.
          Saat malam di rumah itu, saat makan malam mereka berkumpul untuk makan malam bersama. Ibu sudah selesai dengan masakannya, lalu membanya ke suami dan anak-anaknya. Dengan wajah lesu ibu menaruh makanan itu. Nasi yang dicampur nasi aking dengan lauk ikan asin yang menjadi menu malam itu. Ibu mengambilkan makanan untuk Anak-anaknya yang masih kecil dengan wajah ceria mereka makan karena sejak dari tadi perut mereka lapar. Sulung, suami dan ibu  juga ikut makan. Seperti itulah makanan yang setiap hari disantap di rumah itu. Nasi putih yang dicampur nasi aking dengan lauk yang harganya murah, yang dapat mereka jangkau untuk menyambung nyawa. Akan tetapi, kabersamaan diantara mereka tidak pernah lepas. Kesulitan hidup yang, mereka jalani tidak membuat mereka jauh.
                Setelah makan malam, sulung berbincang dengan ibunya di depan rumah mereka. Sedang dua anaknya bermain diawasi bapaknya.
“Ibu, apa yang membuat ibu kuat menjalani kehidupan ini?”
“Yang membuat ibu kuat menjalani hidup ini adalah anak-anak ibu. Bila ibu menyerah, bagaimana dengan nasib anak-anak ibu. Ibu ingin menjadi contoh untuk kalian agar menjadi manusia yang kuat, tidak gampang menyerah dengan hidup ini. hidup ini harus ditaklukkan. Nak, apa kau lelah dengan ini?” tanya ibu pada sulung.
“Lelah, tentu bu, tapi melihat bapak dan ibu yang terus semangat dan tegar membuatku berusaha tegar juga dengan keadaan ini semua, aku akan terus membantu bapak dan ibu mencari uang.”
“Bagus itu nak, ibu bangga padamu”.
“Ibu, mungkinkah nasib kita berubah?”
“Ibu tidak tahu, hanya berusaha dan berdoa, mungki saja nasib kita berubah. Orang bilang, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kamu jangan pernah berhenti berharap pada-Nya ya nak, untuk kehidupan kita yang lebih baik, ibupun selalu berdoa dan berharap pada-Nya, terutama untuk anak-anak ibu”.
“Iya bu. Dengan senyum sulung menjawab nasihat dari ibunya.
Pembicaraan malam itu berakhir. Mereka ke tempat tidur mareka yang sempit dan berjubel, mengistirahatkan badan mereka yang telah seharian bekerja.
          Sebelum tidur, sulung berdoa” Ya Allah, terima kasih atas apa yang telah kau berikan selama ini, rumah tempatku dan keluargaku berteduh, makanan yang setiap hari ku makan, keluarga yang ku cintai. Hamba tahu engakau mengatahui kesusahan hamba dan keluarga hamba selama ini. Bila hamba boleh meminta pada-Mu, Tolong beikanlah pada kami rezeki yang lebih agar kehidupan kami lebih baik, agar kami dapat memiliki rumah yang layak, dapat makan seperti keluarga lain makan, aamiin.
Sulung telah selesai dengan doanya, lalu dia tidur dengan penuh harap semoga doanya dapat menjadi nyata suatu hari nanti.
THE END
Amalia Pratiwi